Lembaga Fatwa Negara Republik Arab Mesir (Dar al-Ifta’ al-Mashriyyah)
menegaskan bahwa nalar takfir adalah cara berpikir lama yang
akhir-akhir ini muncul kembali di tengah-tengah kita dengan wajah baru.
Kini ia mencuat kembali ke permukaan seiring dengan munculnya
gerakan-gerakan jihadi dan takfiri di beberapa wilayah negara Arab,
seperti Syiria, Libya, dan Irak, terutama setelah peristiwa Revolusi
Musim Semi Arab (Arab Spring/al-Rabi’ al-‘Arabi).
Gerakan-gerakan tersebut terus menyebar ke beberapa kawasan di Timur
Tengah, apalagi setelah kelompok-kelompok Islam politik memenangkan
kontestasi kekuasaan di Mesir dan Tunisia. Situasi ini semakin
memberikan ruang yang sangat kondusif bagi tumbuhnya generasi baru
kelompok jihadi dan takfiri, khususnya di Mesir.
Hanya saja, gerakan-gerakan jihadi dan takfiri baru ini berbeda
dengan para pendahulunya di tahun 80-an hingga 90-an. Gerakan jihadi dan
takfiri pada periode 80-an hingga 90-an cenderung terpecah ke beberapa
kelompok yang terbatas, para pemimpinnya dikenal secara luas, memiliki
keserupaan dalam pemikiran, namun faksi takfirnya tidak sebesar
gerakan-gerakan takfiri yang muncul belakangan ini.
Menurut hasil kajian Lembaga Fatwa Negara Mesir yang berjudul “Nalar
Takfir: Dasar Pemikiran dan Metodenya”, fenomena kemunculan kembali
nalar takfir ini disebabkan oleh semakin menguatnya dominasi pemikiran
salafi yang kaku, anti-dialog, alergi pada kemajuan, diskriminatif
terhadap perempuan, serta suka memilah-milah masyarakat menjadi
masyarakat mukmin dan masyarakat kafir.
Hasil kajian Dar al-Ifta’ juga menjelaskan bahwa pemikiran kelompok
al-Qaedah, pada awalnya, menyerukan untuk memerangi “musuh jauh”, yaitu
kaum Yahudi dan kaum Salib terlebih dahulu sebelum memerangi “musuh
dekat”, yaitu sistem pemerintahan yang berlaku di beberapa negara
kawasan Timur Tengah. Namun dalam perkembangannya, kelompok al-Qaeda
membalik pemikiran ini, sehingga memerangi “musuh dekat”, yaitu sistem
pemerintahan, harus didahulukan daripada memerangi “musuh jauh”.
Perkembangan pemikiran terakhir inilah yang dianut oleh generasi
kelompok jihadi baru di Mesir.
Tidak hanya itu, muatan nalar takfir dalam pemikiran generasi baru
kelompok jihadi ini juga semakin besar, sehingga mereka menganggap
negara dan sistem kenegaraan yang berlaku saat ini adalah sistem kafir.
Demikian pula seluruh lembaga-lembaga negara dan pemerintahan juga
kafir. Polisi dan tentara adalah abdi negara yang juga kafir dan wajib
diperangi. Karena pandangan itulah, maka tidak heran jika kemudian
sasaran serangan mereka adalah institusi-institusi keamanan dan
fasilitas-fasilitas penting negara.
Oleh sebab itu, penting untuk melihat karakteristik nalar takfir
generasi baru yang akhir-akhir ini semakin berkembang, khususnya di
Mesir dan beberapa kawasan di sekitarnya, berikut dasar pemikiran dan
metodenya, hingga akibat-akibat yang ditimbulkannya sebagaimana telah
kita saksikan dalam kehidupan kita selama ini.
A. Negara Islam dalam Pandangan Kelompok Takfiri
Kelompok takfiri berpandangan bahwa pemiliham umum itu kafir.
Demikian pula sistem demokrasi juga kafir, karena dalam pandangan
mereka, demokrasi itu menyaingi syari’at Tuhan, menyetarakan kedudukan
muslim dan kafir, menyamakan yang baik dan yang jahat, bahkan memberi
mereka hak sama untuk memberikan suara dan mencalonkan diri dalam
pemilihan umum. Dalam pandangan mereka, cara pemilihan pemimpin menurut
Islam adalah dengan syura yang dilakukan oleh lembaga ahl al-hall wa al-‘aqd yang terdiri dari para ulama dan pemimpin (umara’). Tidak boleh ada campur tangan orang-orang kafir dan jahat dalam proses pemilihan Islami ini.
Bagi mereka, dalam negara Islam, seluruh persoalan seharusnya
ditangani oleh apa yang mereka sebut sebagai “ulama’”, yaitu para
tokoh-tokoh agama. Negara hanya butuh tokoh dan ahli agama (ulama’),
bukan yang lainnya. Sebab itu, sebagai konsekuensi pandangan ini, ulama
sebagai pemangku politik Islam harus diberikan posisi sebagaimana
seorang pendeta yang memiliki kuasa penuh untuk mengatur negara dan
seluruh masyarakat. Mereka harus diberi kedudukan yang tidak ada
tandingannya, dan merekalah yang menentukan seluruh kebijakan, peraturan
dan semua hal yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan maupun
keduniaan.
Dari sinilah tampak bahwa pemikiran kelompok takfiri itu memungkiri ijtihad dan pembaruan (tajdid).
Mereka berpegang kecara ketat dan kaku pada tekstualitas dalil-dalil
agama atau pendapat yang dianggap paling benar. Mereka juga menganggap
syari’at Islam itu adalah teks-teks yang kaku, yang tidak dapat
berinteraksi dan tidak mempertimbangkan faktor waktu, tempat, maksud dan
tujuan dalam penerapannya.
Kelompok takfiri ini juga menggunakan alasan syari’at Islam untuk
melakukan diskriminasi terhadap kaum perempuan. Mereka melarang
perempuan keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Sayangnya, belajar
dan bekerja bagi mereka bukanlah keadaan darurat yang membolehkan
perempuan keluar rumah. Pandangan semacam ini jelas memusuhi perempuan.
Melarang perempuan bekerja berarti merampas hak hidup layak mereka, dan
melarang mereka belajar sama saja dengan membunuh secara keji masa depan
mereka.
Dalam bidang seni-budaya, kelompok takfiri juga menganggap lagu,
musik, olah raga dan berbagai cabang kesenian itu haram di negara Islam.
Demikian pula sistem keuangan perbankan, saham dan lain-lain haram
diberlakukan di negara Islam. Tidak hanya itu, alat-alat modern seperti
kamera, mesin percetakan, gambar, dan lukisan itu haram, dan tidak boleh
bekerja dalam bidang-bidang yang berhubungan dengan barang-barang haram
tersebut, termasuk di televisi dan bioskop.
Mereka juga melarang berdirinya perusahaan dan lembaga-lembaga bisnis
yang dikelola berdasarkan hukum-hukum positif, karena hal itu dianggap
bertentangan dengan hukum Tuhan. Sebagaimana mereka juga melarang
seluruh transaski keuangan modern, apalagi yang mengandung bunga,
terlebih jika melibatkan pihak atau negara kafir, karena itu dianggap
secara jelas bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Mereka juga mendidik putera-puteri mereka melalui sebuah sistem
pendidikan yang tidak akomodatif terhadap kemajuan dan hasil
capaian-capaian dunia modern, apalagi yang berasal dari dunia Barat.
Anak-anak mereka dididik untuk setia dan teguh memegang pola hidup dan
pemikiran para pendahulu (salaf al-shalih) sebagaimana yang mereka pahami.
B. Cara Pandang Kelompok Jihadi dan Takfiri
1.Negara dan Masyarakat
Kelompok takfiri memandang masyarakat Muslim masa kini sebagai masyarakat yang dungu (jahilah),
karena gaya dan pola hidup mereka bercirikan gaya dan pola hidup kafir,
menerima hukum selain hukum TUhan, tunduk pada aturan-aturan buatan
manusia dan meninggalkan syari’at Islam, serta meniru gaya kaum yahudi
dan Nasrani dalam seluruh sendi kehidupan. Hal ini, menurut kelompok
takfiri, disebabkan masyarakat Muslim tidak lagi berpegang teguh pada
agama Islam, dan cenderung mengikuti segala hal yang berbau Barat yang
kafir.
Untuk mengembalikan masyarakat Muslim ke dalam ajaran-ajaran Islam,
menurut kelompok takfiri, adalah mulai dari meninggalkan seluruh sistem
dan hukum positif buatan manusia lalu kembali kepada syari’at Islam,
al-Qur’an, dan hadis, yang merupakan penuntun dalam seluruh sendi
kehidupan masyarakat Muslim. Dalam rangka inilah kaum takfiri
membolehkan pembangkangan terhadap pemerintah Muslim yang menerapkan
hukum-hukum positif, karena hukum-hukum itu bertentangan dengan
hukum-hukum Tuhan dan harus dihapuskan melalui perjuangan umat Islam.
Kaum takfiri tidak mengakui adanya perbatasan di antara negara-negara
Islam. Bagi mereka, seluruh dunia Islam adalah satu negara di bawah
bendera khilafah Islamiyyah. Khilafah Islamiyyah dipandang
dapat mengembalikan kejayaan umat, membantu kaum Muslim meningkatkan
derajat dan menyebarkan agama mereka ke seluruh dunia. Atas dasar
pandangan inilah, kelompok takfiri membolehkan melanggar perbatasan atau
menginjak teritori negara lain, dan bahkan menjadi kelompok separatis
di suatu negara demi membangun negara Islam. Hal ini terjadi misalnya
pada kelompok-kelompok dan gerakan-gerakan yang saat ini menduduki
kawasan Sinai di Mesir, juga kelompok Jundullah yang muncul di antara
perbatasan kota Rafah dan Gaza di Palestina, di mana mereka berusaha
menjadikan kota Rafah sebagai kota Islam sebagai cikal-bakal berdirinya
khilafah Islam yang mereka cita-citakan. Dan untuk mewujudkan cita-cita
itu, mereka tidak segan-segan memerangi kelompok Hamas yang selama ini
memegang kendali pemerintahan di Gaza.
2. Konsekuensi Pengafiran Negara dan Masyarakat:
Nalar takfir memang menentang masyarakat dan negara modern. Maka tak
heran jika kelompok takfiri menganggap konsep negara bangsa berdasarkan
wilayah tertentu itu merupakan konspirasi untuk memusuhi Islam dan kaum
Muslim serta membendung terbentuknya khilafah Islamiyyah. Karena itulah,
mereka selalu berusaha meruntuhkan institusi-institusi negara dan
menciptakan kekacauan dengan berbagai cara, mulai dari mengafirkan
seorang presiden hingga memfatwakan pembangkangan atas presiden yang
menerima sistem demokrasi dan tidak memberlakukan syari’at Islam.
Kelompok takfiri juga melarang masyarakat menjadi pegawai di semua
insitusi negara karena semua institusi itu dianggap institusi jahiliyyah
yang tidak hanya bertentangan dengan syari’at Islam, tapi juga harus
dibubarkan dan diganti dengan institusi-institusi lain yang sesuai
dengan syari’at Islam. Untuk itu mereka mengeluarkan banyak fatwa dan
pernyataan yang mengharamkan bekerja di institusi-institusi negara dan
pemerintahan, bahkan mengajak untuk membubarkan seluruh institusi resmi
negara, meskipun harus dengan cara menggunakan kekerasan demi
melenyapkan kemungkaran dan menegakkan negara yang dalam pandangan
mereka selaras dengan syari’at Islam.
Sebagai konsekuensi lebih lanjut dari negara yang dianggap kafir,
mereka juga membolehkan tidak membayar semua kewajiban warga negara yang
dibebankan negara, karena menurut mereka, Islam melarang berurusan
dengan sebuah negara kafir. Islam juga melarang patuh pada semua aturan,
hukum positif, dan pengadilan kaum kafir, termasuk berpartisipasi dalam
pemilihan umum dan segala bentuk partisipasi politik lainnya yang lazim
berlaku di sebuah negara demokratis.
Mereka juga memfatwakan wajib menyerang para petugas keamanan, karena
mereka penjaga kelompok orang yang menghambat tegaknya syari’at Islam.
Bahkan mereka membolehkan membunuh rakyat sipil, termasuk wanita dan
anak-anak dengan dalih dalam rangka melemahkan cengekeraman musuh yang
kafir. Sebab itu, banyak terjadi kaum takfiri membunuh atau berusaha
melenyapkan tokoh-tokoh penting, para pejabat negara, kaum intelektual
dan wartawan. Mereka juga berusaha menghancurkan ekonomi dengan cara
menyerang para wisatawan, menghancurkan kantor-kantor wisata, bank,
terusan Suez, kilang-kilang minyak, dan sebagainya. Bahkan mereka tak
segan menyerang para penganut Koptik sehingga menyebabkan krisis
berkepanjangan, baik dalam bidang keamanan, politik, maupun sosial.
3. Masyarakat dan Organisasi Internasional
Kelompok takfiri memandang dunia ini sebagai ajang pertempuran yang
tak terelakkan antara berbagai pemeluk agama dan kebudayaan. Mereka
memandang Barat selalu melakukan konspirasi untuk menghancurkan Islam
dan membuat umat Islam meniru gaya hidup Barat, sehingga umat Islam
meninggalkan agamanya, dan tidak lagi memedulikan ajaran, nilai, dan
tujuan yang ditunjukkan Islam.
Mereka membagi manusia di muka bumi ini hanya ke dalam dua kelompok
berdasarkan keyakinannya: kelompok Muslim, dan kelompok kafir yang
selalu terlibat dalam upaya menghancurkan Islam dan kaum Muslim.
Kelompok kafir ini terdiri dari kaum Yahudi dan kaum Salib kafir yang
bekerja sama dengan negara-negara murtad dari Islam serta selalu
menghalangi penegakan syari’at Islam. Sebab itulah, kelompok takfiri
selalu menyerukan jihad dengan senjata dan perang terbuka untuk melawan
negara-negara yang menurut mereka kafir. Mereka juga menyerang
negara-negara Arab dan Islam yang membuka hubungan diplomatik dengan
negara-negara kafir itu, mengizinkan kapal-kapal negara kafir melintasi
perairan negara Islam, mengizinkan wisatawan dari negara kafir masuk
untuk memata-matai , menyebarkan kemaksiatan dan melakukan kristenisasi
di negara Islam melalui topeng wisata.
Tindakan-tindakan tersebut disandarkan oleh kelompok takfiri kepada
pendapat beberapa ulama salaf yang memberikan segregasi dalam hal
interaksi, hak, dan kewajiban antara kelompok dar al-Islam dan kelompok
dar al-harb, menolak persamaan hak hukum, karena kelompok dar al-Islam
memberlakukan syari’at Islam, sementara kelompok dar al-harb
memberlakukan hukum-hukum kafir.
Bagi kelompok takfiri, memerangi kelompok kafir bukan pilihan taktis,
melainkan target dan tujuan strategis, karena sejak awal hingga saat
ini, Islam tetap mewajibkan hal itu dalam rangka mengislamkan dunia dan
membebaskan negara-negara Islam dari perjanjian-perjanjian internasional
yang tidak sesuai dengan syari’at Islam.
Kelompok takfiri juga mengharamkan bergabung dengan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), karena organisasi ini menggunakan sistem
kapitalis-sekuler. Negara-negara yang bergabung ke dalam PBB berarti
tunduk pada sistem itu, serta menerima semua perjanjian dan hukum-hukum
internasionalnya, dan itu berarti juga tunduk pada sistem sekuler-kafir
yang dianutnya. Karenanya, menurut kelompok takfiri, bergabung ke dalam
PBB itu hukumnya haram.
Hubungan dengan negara-negara Barat, dalam pandangan kelompok
takfiri, adalah hubungan perseteruan dan perlawanan kaum Muslim untuk
membela agama dan menyebarkannya. Mereka menganggap, mungkin saja di
pihak negara-negara Barat ada ilmuwan-ilmuan Muslim yang menggadaikan
akidah dan agama mereka untuk mengabdi pada kepentingan Barat. Para
ilmuwan itu, bagi kaum takfiri, adalah para pengkhianat agama dan umat
yang harus diperangi dan dilenyapkan. Atas dasar pandangan inilah kaum
takfiri menyerang beberapa negara Islam karena menganggap negara-negara
itu merupakan kepanjangan tangan dari negara-negara Barat, dan pada saat
yang sama mereka juga menyerang aset-aset penting negara Barat.
Jadi tujuan utama kelompok takfiri dengan nalar takfirnya yang
ekstrim tersebut adalah mengislamkan kembali dunia dan membangun negara
teokrasi di setiap negara yang berhasil dibebaskan dari sistem kafir.
Hal itu dimulai dari membebaskan umat Islam dari apa yang mereka sebut
sebagai “jahiliyyah baru”, dan membangun masyarakat Islam baru yang
ideal. Masyarakat Islam yang ideal, dalam pandangan kelompok takfiri,
adalah sebagaimana yang pernah dibangun oleh kelompok Taliban. Bagi
mereka, Taliban telah mewujudkan keadilan, menegakkan syari’at Islam,
serta membangkitkan kembali jihad melawan kaum kafir dan para sekutunya.
4. Konsekuensi Pengafiran Barat dan Dunia Luar
Bagi kelompok takfiri, karena Barat itu kafir dan memusuhi Islam,
maka sudah selayaknya diperangi dan seluruh kepentingannya di dunia ini
hancurkan. Tidak hanya itu, kelompok takfiri juga membolehkan bahkan
mewajibkan membunuh para wisatawan asing demi membela Islam, karena bagi
mereka, para wisatawan asing yang mengunjungi negara-negara Islam itu
sebenarnya tujuannya hanya salah satu di antara tiga: melakukan
kristenisasi, atau menyebar kemaksiatan, atau memata-matai umat Islam
untuk kepentingan Yahudi dan Nasrani.
Begitu juga perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di
negara-negara Islam tak ada bedanya dengan pangkalan-pangkalan militer
Amerika Serikat, Perancis, dan Inggris yang juga banyak terdapat di
negara-negara Islam. Semua perusahaan dan pangkalan militer itu dianggap
kelompok takfiri sebagai langkah awal invasi Yahudi dan Nasrani ke
dunia Islam. Karenanya, mereka harus segera diusir dari wilayah
negara-negara Islam.
Tak terkecuali kantor-kantor perwakilan negara Barat, terutama
Amerika Serikat dan negara-negara kafir lainnya. Bagi kelompok takfiri,
kantor-kantor perwakilan itu adalah sarang para musuh Allah dan
Rasul-Nya. Sebab itu, sangat memalukan bila terdapat polisi atau tentara
Muslim yang ikut menjaga sarang-sarang Negara-negara kafir musuh Islam
itu. Seorang polisi atau tentara Muslim, menurut kelompok takfiri, wajib
menjauhi dan menolak perintah siapapun untuk menjaga kantor perwakilan
yang menjadi sarang kaum kafir tersebut.