Monday, November 12, 2012

Senandung Seribu Menara

Bisa dikatakan saya termasuk orang yang beruntung bisa melanjutkan study di luar negeri. Dengan latar belakang keluarga pas – pasan, saya bisa melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbaik dunia, Universitas Al-Azhar Kairo. Hidup di Mesir, saya merasakan beberapa perbedaan antara Indonesia dan Mesir. Namun perbedaan – perbedaan itu tak menyurutkan langkah saya sedikitpun untuk meraih sukses di negeri para nabi tersebut.
Dua Dunia
Siapa pun yang melanjutkan study ke luar negeri, tentu akan mengeluhkan perbedaan cuaca antara tanah air dan negara lainnya, terutama di kawasan Eropa, Amerika, dan Australia. Begitu pula yang saya alami di Mesir. Terbiasa dengan cuaca tropis yang senantiasa menyapa tubuh sejak lahir, saya kemudian harus menghadapi dinginnya udara Mesir. bibir pecah – pecah dan tenggorokan kering menjadi penyakit rutinan selama musim dingin. Sayangnya, meskipun udara di Mesir sangat dingin, namun tak ada sebutir salju pun yang turun ke bumi para nabi itu, padahal saya sangat ingin merasakan kelembutan salju ala Eropa.

Waktu subuh menjadi cobaan yang paling berat. Untuk melaksanakan shalat subuh, tentu saja saya harus mengambil air wudhu dari kran, celakanya air yang mengalir dari kran bagaikan air yang keluar dari freezer dan itu harus saya basuhkan ke wajah, tangan dan kaki saya. Belum lagi bila saya harus mandi wajib, maka solusi utamanya adalah memasak air panas atau bahkan cukup dengan ber-tayammum saja.
Bila musim panas tiba, keadaan berubah 180 derajat. Panas membakar tubuh bagaikan para pendosa yang dihukum tuhannya di neraka. Keadaan di bus pun lebih menyedihkan. Selain berdesak – desakan dengan penumpang lainnya. Bau tak sedap pun selalu masuk ke rongga hidung tanpa bisa ditolak. Just like in hell. Hidup di Mesir membuat saya merasa hidup di dua dunia yang berbeda. Dunia yang semuanya terasa beku dan dunia yang membakar semua yang ada.
Bahasa Isyarat adalah Bahasa Dunia
Kalau ada yang mengatakan Bahasa Inggris adalah bahasa dunia, mungkin saya lah orang pertama yang akan membantahnya. Bukan tanpa alasan bila saya berpendapat begitu. Berbekal pengetahuan bahasa Arab dan Inggris yang saya dapatkan di Pesantren, saya memberanikan diri untuk mengembara di negeri asing. Namun kedua bahasa itu tak banyak membantu kehidupan saya sehari – hari. Hanya sedikit orang Mesir yang bisa berbahasa Inggris, sehingga kemampuan Bahasa Inggris saya (walau kemampuan saya hanya setaraf pemula) terbuang percuma. Setali tiga uang dengan Bahasa Arab. Meskipun mereka adalah orang Arab asli, namun mereka menggunakan bahasa Arab yang berbeda dengan bahasa Arab yang saya pelajari selama 6 tahun di Pesantren dalam mereka. Bahasa Arab yang saya pelajari adalah Bahasa Arab resmi (fushah) sedangkan mereka menggunakan bahasa ‘Ammiyah atau bahasa pasaran. Maka jangan heran bila dalam mata kuliah Kaedah Bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) orang Indonesia mendapat nilai yang lebih tinggi dari pada orang Arab asli.
Lantas bagaimana kami berkomunikasi dengan warga Mesir?. Bahasa Isyarat menjadi bahasa resmi kami hingga kami bisa berbicara dan memahami bahasa mereka. Tinggal tunjuk ini itu, maka kebutuhan kami pun akan terpenuhi. Maka tak salah bila saya mengatakan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa dunia.
Dijamin Halal
Bila anda berkesempatan melancong ke Mesir, jangan pernah anda berharap akan mendapatkan suguhan nasi di restoran mereka. Itu karena makanan pokok orang Mesir adalah roti gandum yang bernama ‘Isy. Cita rasa makanan Mesir pun sangat berbeda dengan makanan Indonesia. Ketika awal – awal kedatangan saya di Mesir, saya kesulitan beradaptasi dengan makanan lokal. Beruntung kita orang Indonesia memiliki slogan : belum makan kalau belum makan nasi. Sehingga saya dan teman – teman selalu memasak nasi di kontarakan kami. Dan lebih beruntungnya lagi, beras mudah didapatkan di Mesir dan harganya pun terjangkau. Namun lambat laun, saya berhasil juga beradaptasi dengan cita rasa timur tengah tersebut, meskipun nasi tetap menjadi menu utama setiap hari.
Berbicara mengenai makanan, saya bisa katakan bahwa kami yang kuliah di negara – negara timur tengah atau pun di negara – negara mayoritas muslim lainnya sedikit lebih beruntung. Kami tak kesulitan mencari makanan yang dihalalkan oleh agama. Itu karena kami dengan mudah mendapatkan makanan yang dijamin halal. Berbeda dengan teman – teman yang study di Eropa dan Amerika yang harus bersusah payah untuk mencari makanan yang halal agar agama mereka tetap terjaga. Untuk mereka saya harus angkat dua jempol.
Saya berkata bohong bila saya mengatakan bahwa saya tidak merindukan masakan khas Indonesia. Masalah cita rasa, lidah lah rajanya. Dan lidah saya berkata bahwa masakan Indonesia adalah yang terlezat di dunia. Restoran Indonesia yang dikelola mahasiswa Indonesia menjadi pelampiasan hasrat perut dan lidah saya. Tentu saja itu hanya terjadi bila saya memiliki uang lebih di kantong saya.
Bila kantong saya sedang seret, Indomie menjadi alternatifnya. Saya dengan mudah mendapatkan Indomie di warung – warung milik orang Mesir. Cukup dua bungkus, maka lidah dan perut saya pun terpuaskan. Indomie memberikan kebanggan tersendiri buat saya, karena ia merupakan satu – satunya produk ekspor Indonesia yang mudah saya dapatkan di Mesir. setiap kali saya membeli Indomie, maka dengan bangga saya mengatakan kepada penjaga warung bahwa Indomie merupakan produk asli Indonesia. Aku Cinta Produk Indonesia.
Makna Setetes Hujan
Di Indonesia, melihat hujan merupakan hal yang biasa. Bahkan hujan terkadang membawa bencana banjir seperti yang terjadi di Mentawai ataupun Jakarta. Hujan menjadi pemandangan yang biasa saja di Indonesia, bahkan terkadang tidak diharapkan kedatangannya.
Namun berbeda bila anda berada di Mesir. Mesir merupakan negara yang memiliki curah hujan yang sangat rendah. Untuk bisa melihat dan merasakan tetesan air hujan, anda perlu menunggu selama setahun. Karena hujan di Mesir hanya terjadi selama 1 atau 2 kali dalam setahun. Itu pun airnya sangat dingin, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk mandi hujan seperti yang biasa kita lakukan di tanah air.
Hujan memiliki arti tersendiri bagi saya. Setiap hujan turun, maka kerinduan akan tanah air pun membuncah. Bukan hanya langit yang mengeluarkan airnya. Mata saya pun ikut meneteskan airnya dan hati saya bergemuruh laksana guntur yang bergemuruh di langit yang mendung. Kerinduan terhadap hujan bertalian dengan kerinduan akan tanah air, karena hanya di tanah air lah kita bisa merasakan betapa segarnya setiap tetesan hujan yang membasahi tubuh kita. Jangan heran bila saya katakan, bahwa ketika saya tiba di tanah air, maka saya tak segan untuk mandi hujan layaknya anak kecil. Saya benar - benar menuntaskan kerinduan saya selama kuliah di Mesir.
Kejujuran dan Rendah Hati
Saya banyak mendengar dari orang – orang yang kuliah di tanah air, untuk mendapatkan nilai yang baik cukup membawa selembar amplop berisi uang atau seekor ayam hitam, maka nilai anda dijamin akan memuaskan. Itu menurut perkataan teman – teman saya, saya sendiri belum pernah melihat dan merasakannya.
Namun bila anda kuliah di Universitas Al-Azhar, jangan pernah coba – coba untuk berbuat curang. Bila anda berani menyontek ketika ujian, bersiaplah untuk menunggu wisuda lebih lama, karena hukuman bagi orang yang menyontek adalah tidak diperbolehkan mengikuti ujian untuk mata kuliah yang sama selama 2 tahun. Begitu juga bila anda mendapat nilai error, jangan pernah anda berharap bisa mengangkatnya dengan cara memberikan “upeti” kepada dosen mata kuliah. Saya jamin anda akan kecele dengan usaha anda. Kejujuran begitu dijunjung tinggi di universitas tertua di dunia tersebut.
Anda juga akan terbiasa bila melihat dosen yang mengajar anda di kampus tiba – tiba sudah duduk bersama anda di dalam bus kota. Mereka tak segan untuk berdesak – desakan dengan penumpang lain atau bahkan harus berdiri karena tak mendapatkan tempat duduk. Ilmu yang mereka miliki tak membuat mereka tinggi hati atau pun gengsi bila harus menaiki angkutan umum. Mereka benar – benar mengamalkan filsafat padi, semakin berisi semakin menunduk.
Senandung Seribu Menara
Tak salah bila orang menjuluki Mesir dengan negeri seribu menara. Itu karena memang jumlah mesjid beserta menara – menaranya begitu banyak di negeri itu. Letak mesjidnya pun saling berdekat – dekatan. Bahkan Mesjid Al-Azhar dan Mesjid Hussein (yang di dalamnya terdapat makam kepala Hussein bin Ali bin Abi Thalib r.a.) hanya berjarak sekitar 200 meter. Meski mesjid saling berdekatan, namun ia tak pernah sepi dengan jama’ah. Agak berbeda dengan apa yang terjadi di negara kita. Mesjid dan Surau terkadang sepi dari jama’ah shalat 5 waktu.
Bila waktu shalat tiba, maka anda akan mendengarkan senandung adzan dari seribu menara tersebut. Suara nan merdu dan menyejukkan itu mengajak kita untuk sejenak meninggalkan kesibukan kita dan menghadapkan wajah kita kepada Sang Pencipta. Untuk beberapa saat, kita hanyut dalam komunikasi penuh cinta dengan Sang Pencipta Alam Semesta.

0 comments:

Post a Comment