Bisa
dikatakan saya termasuk orang yang beruntung bisa melanjutkan study di
luar negeri. Dengan latar belakang keluarga pas – pasan, saya bisa
melanjutkan kuliah di salah satu universitas terbaik dunia, Universitas
Al-Azhar Kairo. Hidup di Mesir, saya merasakan beberapa perbedaan antara
Indonesia dan Mesir. Namun perbedaan – perbedaan itu tak menyurutkan
langkah saya sedikitpun untuk meraih sukses di negeri para nabi
tersebut.
Siapa
pun yang melanjutkan study ke luar negeri, tentu akan mengeluhkan
perbedaan cuaca antara tanah air dan negara lainnya, terutama di kawasan
Eropa, Amerika, dan Australia. Begitu pula yang saya alami di Mesir.
Terbiasa dengan cuaca tropis yang senantiasa menyapa tubuh sejak lahir,
saya kemudian harus menghadapi dinginnya udara Mesir. bibir pecah –
pecah dan tenggorokan kering menjadi penyakit rutinan selama musim
dingin. Sayangnya, meskipun udara di Mesir sangat dingin, namun tak ada
sebutir salju pun yang turun ke bumi para nabi itu, padahal saya sangat
ingin merasakan kelembutan salju ala Eropa.
Waktu
subuh menjadi cobaan yang paling berat. Untuk melaksanakan shalat
subuh, tentu saja saya harus mengambil air wudhu dari kran, celakanya
air yang mengalir dari kran bagaikan air yang keluar dari freezer
dan itu harus saya basuhkan ke wajah, tangan dan kaki saya. Belum lagi
bila saya harus mandi wajib, maka solusi utamanya adalah memasak air
panas atau bahkan cukup dengan ber-tayammum saja.
Bila
musim panas tiba, keadaan berubah 180 derajat. Panas membakar tubuh
bagaikan para pendosa yang dihukum tuhannya di neraka. Keadaan di bus
pun lebih menyedihkan. Selain berdesak – desakan dengan penumpang
lainnya. Bau tak sedap pun selalu masuk ke rongga hidung tanpa bisa
ditolak. Just like in hell. Hidup di Mesir membuat saya merasa hidup di
dua dunia yang berbeda. Dunia yang semuanya terasa beku dan dunia yang
membakar semua yang ada.
Bahasa Isyarat adalah Bahasa Dunia
Kalau
ada yang mengatakan Bahasa Inggris adalah bahasa dunia, mungkin saya
lah orang pertama yang akan membantahnya. Bukan tanpa alasan bila saya
berpendapat begitu. Berbekal pengetahuan bahasa Arab dan Inggris yang
saya dapatkan di Pesantren, saya memberanikan diri untuk mengembara di
negeri asing. Namun kedua bahasa itu tak banyak membantu kehidupan saya
sehari – hari. Hanya sedikit orang Mesir yang bisa berbahasa Inggris,
sehingga kemampuan Bahasa Inggris saya (walau kemampuan saya hanya
setaraf pemula) terbuang percuma. Setali tiga uang dengan Bahasa Arab.
Meskipun mereka adalah orang Arab asli, namun mereka menggunakan bahasa
Arab yang berbeda dengan bahasa Arab yang saya pelajari selama 6 tahun
di Pesantren dalam mereka. Bahasa Arab yang saya pelajari adalah Bahasa
Arab resmi (fushah) sedangkan mereka menggunakan bahasa ‘Ammiyah atau bahasa pasaran. Maka jangan heran bila dalam mata kuliah Kaedah Bahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) orang Indonesia mendapat nilai yang lebih tinggi dari pada orang Arab asli.
Lantas
bagaimana kami berkomunikasi dengan warga Mesir?. Bahasa Isyarat
menjadi bahasa resmi kami hingga kami bisa berbicara dan memahami bahasa
mereka. Tinggal tunjuk ini itu, maka kebutuhan kami pun akan terpenuhi.
Maka tak salah bila saya mengatakan bahwa bahasa isyarat adalah bahasa
dunia.
Dijamin Halal
Bila
anda berkesempatan melancong ke Mesir, jangan pernah anda berharap akan
mendapatkan suguhan nasi di restoran mereka. Itu karena makanan pokok
orang Mesir adalah roti gandum yang bernama ‘Isy. Cita rasa
makanan Mesir pun sangat berbeda dengan makanan Indonesia. Ketika awal –
awal kedatangan saya di Mesir, saya kesulitan beradaptasi dengan
makanan lokal. Beruntung kita orang Indonesia memiliki slogan : belum
makan kalau belum makan nasi. Sehingga saya dan teman – teman selalu
memasak nasi di kontarakan kami. Dan lebih beruntungnya lagi, beras
mudah didapatkan di Mesir dan harganya pun terjangkau. Namun lambat
laun, saya berhasil juga beradaptasi dengan cita rasa timur tengah
tersebut, meskipun nasi tetap menjadi menu utama setiap hari.
Berbicara
mengenai makanan, saya bisa katakan bahwa kami yang kuliah di negara –
negara timur tengah atau pun di negara – negara mayoritas muslim lainnya
sedikit lebih beruntung. Kami tak kesulitan mencari makanan yang
dihalalkan oleh agama. Itu karena kami dengan mudah mendapatkan makanan
yang dijamin halal. Berbeda dengan teman – teman yang study di Eropa dan
Amerika yang harus bersusah payah untuk mencari makanan yang halal agar
agama mereka tetap terjaga. Untuk mereka saya harus angkat dua jempol.
Saya
berkata bohong bila saya mengatakan bahwa saya tidak merindukan masakan
khas Indonesia. Masalah cita rasa, lidah lah rajanya. Dan lidah saya
berkata bahwa masakan Indonesia adalah yang terlezat di dunia. Restoran
Indonesia yang dikelola mahasiswa Indonesia menjadi pelampiasan hasrat
perut dan lidah saya. Tentu saja itu hanya terjadi bila saya memiliki
uang lebih di kantong saya.
Bila
kantong saya sedang seret, Indomie menjadi alternatifnya. Saya dengan
mudah mendapatkan Indomie di warung – warung milik orang Mesir. Cukup
dua bungkus, maka lidah dan perut saya pun terpuaskan. Indomie
memberikan kebanggan tersendiri buat saya, karena ia merupakan satu –
satunya produk ekspor Indonesia yang mudah saya dapatkan di Mesir.
setiap kali saya membeli Indomie, maka dengan bangga saya mengatakan
kepada penjaga warung bahwa Indomie merupakan produk asli Indonesia. Aku
Cinta Produk Indonesia.
Makna Setetes Hujan
Di
Indonesia, melihat hujan merupakan hal yang biasa. Bahkan hujan
terkadang membawa bencana banjir seperti yang terjadi di Mentawai
ataupun Jakarta. Hujan menjadi pemandangan yang biasa saja di Indonesia,
bahkan terkadang tidak diharapkan kedatangannya.
Namun
berbeda bila anda berada di Mesir. Mesir merupakan negara yang memiliki
curah hujan yang sangat rendah. Untuk bisa melihat dan merasakan
tetesan air hujan, anda perlu menunggu selama setahun. Karena hujan di
Mesir hanya terjadi selama 1 atau 2 kali dalam setahun. Itu pun airnya
sangat dingin, sehingga sangat tidak dianjurkan untuk mandi hujan
seperti yang biasa kita lakukan di tanah air.
Hujan
memiliki arti tersendiri bagi saya. Setiap hujan turun, maka kerinduan
akan tanah air pun membuncah. Bukan hanya langit yang mengeluarkan
airnya. Mata saya pun ikut meneteskan airnya dan hati saya bergemuruh
laksana guntur yang bergemuruh di langit yang mendung. Kerinduan
terhadap hujan bertalian dengan kerinduan akan tanah air, karena hanya
di tanah air lah kita bisa merasakan betapa segarnya setiap tetesan
hujan yang membasahi tubuh kita. Jangan heran bila saya katakan, bahwa
ketika saya tiba di tanah air, maka saya tak segan untuk mandi hujan
layaknya anak kecil. Saya benar - benar menuntaskan kerinduan saya
selama kuliah di Mesir.
Kejujuran dan Rendah Hati
Saya
banyak mendengar dari orang – orang yang kuliah di tanah air, untuk
mendapatkan nilai yang baik cukup membawa selembar amplop berisi uang
atau seekor ayam hitam, maka nilai anda dijamin akan memuaskan. Itu
menurut perkataan teman – teman saya, saya sendiri belum pernah melihat
dan merasakannya.
Namun
bila anda kuliah di Universitas Al-Azhar, jangan pernah coba – coba
untuk berbuat curang. Bila anda berani menyontek ketika ujian,
bersiaplah untuk menunggu wisuda lebih lama, karena hukuman bagi orang
yang menyontek adalah tidak diperbolehkan mengikuti ujian untuk mata
kuliah yang sama selama 2 tahun. Begitu juga bila anda mendapat nilai error, jangan pernah anda berharap bisa mengangkatnya dengan cara memberikan “upeti” kepada dosen mata kuliah. Saya jamin anda akan kecele dengan usaha anda. Kejujuran begitu dijunjung tinggi di universitas tertua di dunia tersebut.
Anda
juga akan terbiasa bila melihat dosen yang mengajar anda di kampus tiba
– tiba sudah duduk bersama anda di dalam bus kota. Mereka tak segan
untuk berdesak – desakan dengan penumpang lain atau bahkan harus berdiri
karena tak mendapatkan tempat duduk. Ilmu yang mereka miliki tak
membuat mereka tinggi hati atau pun gengsi bila harus menaiki angkutan
umum. Mereka benar – benar mengamalkan filsafat padi, semakin berisi
semakin menunduk.
Senandung Seribu Menara
Tak
salah bila orang menjuluki Mesir dengan negeri seribu menara. Itu
karena memang jumlah mesjid beserta menara – menaranya begitu banyak di
negeri itu. Letak mesjidnya pun saling berdekat – dekatan. Bahkan Mesjid
Al-Azhar dan Mesjid Hussein (yang di dalamnya terdapat makam kepala
Hussein bin Ali bin Abi Thalib r.a.) hanya berjarak sekitar 200 meter.
Meski mesjid saling berdekatan, namun ia tak pernah sepi dengan jama’ah.
Agak berbeda dengan apa yang terjadi di negara kita. Mesjid dan Surau
terkadang sepi dari jama’ah shalat 5 waktu.
Bila
waktu shalat tiba, maka anda akan mendengarkan senandung adzan dari
seribu menara tersebut. Suara nan merdu dan menyejukkan itu mengajak
kita untuk sejenak meninggalkan kesibukan kita dan menghadapkan wajah
kita kepada Sang Pencipta. Untuk beberapa saat, kita hanyut dalam
komunikasi penuh cinta dengan Sang Pencipta Alam Semesta.
0 comments:
Post a Comment