Thursday, April 25, 2013

(Bab Thaharah) Definisi Thaharah

Secara bahasa thaharah berarti suci dan bersih dari kotoran baik itu kotoran yang dapat diindera seperti najis, atau kotoran yang maknawi seperti aib. Sedangkan secara istilah para ulama’ syafi’i mengartikannya dengan :
إِزَالَةُ حَدَثٍ، أَوْ نَجَـسٍ ، أَوْ مَا فِي مَعْنَـاهِمَا وَ عَلَى صُوْرَتِهـِمَا
ـartinya : menghilangkan hadats dan najis atau yang semakna dengan keduanya dan sejenis dengan keduanya.

Sementara itu, pengarang kitab al-fiqh al-manhaji ‘ala madzhabi al-Imam asy-Syafi’i mendefinisikan thaharah sebagai pekerjaan yang dapat memperbolehkan pelakunya untuk melaksanakan shalat – atau yang sehukum dengan shalat- seperti wudhu bagi orang yang belum wudhu’, atau mandi bagi orang yang wajib mandi dan menghilangkan najis dari pakaian, tubuh dan tempat.
Adapun air yang bisa digunakan untuk bersuci itu ada tujuh yaitu : air hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata air, air es, dan air dingin. Atau kita bisa mengatakan ketujuh air tersebut dengan semua air yang turun dari langit dan memancar dari bumi.
Kemudian air juga bisa dibagi menjadi 4 bagian, yaitu :
Pertama ; air suci dan mensucikan atau air mutlaq, yaitu air yang tetap pada wujud aslinya sebagaimana Allah menciptakan air tersebut. Namun bila air tersebut berubah karena terlalu lama diam di suatu tempat, atau karena ada debu,  atau berlumut atau karena tempat dan jalan air tersebut membuat air berubah maka ia tetap disebut dengan air mutlaq dan dapat digunakan untuk bersuci. Hal itu karena kita tidak dapat mencegah air tersebut untuk berubah.
Kedua : air suci mensucikan tetapi makruh untuk digunakan bersuci. Air tersebut adalah air musyammas atau yang dipanasi oleh sinar matahari. Disyaratkan makruhnya air tersebut oleh beberapa hal :
-         ia di negara yang beriklim panas
-   air tersebut terletak di wadah yang terbuat dari selain emas dan perak, seperti besi dan tembaga.
-    Penggunaan air tersebut pada tubuh manusia – meskipun telah mati – atau hewan yang bisa terkena kusta.
Imam syafi’i rahimahullah menukilkan dari Umar bin Khattab bahwasanya beliau tidak suka menggunakan air tersebut untuk mandi. Beliau berkata : aku tidak membenci menggunakan air musyammas melainkan karena alasan kesehatan.
Ketiga : air suci tetapi tidak bisa mensucikan (musta’mal). Ia terbagi menjadi 2 bagian :
·      Air sedikit yang sudah digunakan untuk melaksanakan kewajiban bersuci seperti wudhu’ dan mandi.
·      Air mutlaq yang sudah bercampur dengan sesuatu yang suci lainnya yang secara kebiasaan air tidak membutuhkannya dan tidak memungkinkan untuk dipisahkan lagi setelah keduanya bercampur sehingga bentuk asli tersebut berubah dan tidak bisa dikatakan sebagai air. Contohnya teh, kopi, jus dan lain – lain.
Keempat : air mutanajjis yaitu air yang terkena sesuatu yang najis. Dan ia ada dua bagian :
Pertama : air sedikit (kurang dari 2 qullah). Air ini najis cukup hanya dengan terkena najis meskipun hanya sedikit dan tidak merubah sifat – sifat air seperti warna, rasa dan bau air tersebut. 2 Qullah setara dengan 500 liter baghdad.
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab r.a. berkata : aku mendengar Rasulullah SAW ditanya tentang air di padang pasir, yang sering didatangi hewan buas dan hewan melata, beliau menjawab : apabila air 2 Qullah, maka ia tidak najis”
Kedua : air yang mencapai 2 Qullah atau lebih. Air ini tidak najis bila terkena sesuatu yang najis, selama ia tidak berubah warna, rasa, dan bau air tersebut. Apabila ia berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis. Adapun dalilnya adalah ijma’ ulama atas hal ini.  Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ berkata : Ibn Mundzir berkata : para ulama bersepakat bahwa air sedikit atau pun air banyak bila terkena najis kemudian berubah warna, bau dan rasanya maka air tersebut najis.


Referensi :
1) Muhtashar Abi Suja'
2) Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi'i

0 comments:

Post a Comment