Syeikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi

Bapak Kitab Kuning Indonesia.

Koruptor Masuk Surga

Bahkan Koruptor Pun Bisa Masuk Surga.

Indahnya Kebersamaan

Hargailah Waktu Bersama Orang-Orang Tersayang.

Penerimaan Santri Hubulo Tahun Pelajaran 2016/2017

Pendaftaran Santri Baru Pesantren Hubulo dibuka mulai tanggal 1 Maret hingga 22 Mei 2016.

Senandung Seribu Menara

Salah Satu Keindahan Mesir Sebagai Negeri Seribu Satu Menara Adalah Seruan Adzan Yang Sangat Merdu Serta Saling Bersahutan.

Monday, April 13, 2020

Antara Rukhsah dan Azimah

(Membaca kembali diktat kuliah Ushul Fikih, karya Prof. Dr. Abdul Hayy Abdul 'Aal, guru besar Ushul Fikih Univ. Al-Azhar)
Sengaja saya mencari kembali materi tentang rukhshah dan azimah karena dahulu materi ini sangat berkesan di hati saya, apalagi dalam keadaan sekarang ini memerlukan perhatian lebih tentang manakah yang lebih utama, mengambil rukhshah atau bersikukuh dengan mengamalkan azimah dalam masa pandemi Corona ini.
Pada halaman 147, dibahas tentang masalah manakah yang lebih baik bagi seseorang yang sakit atau dalam perjalanan di siang hari Ramadhan, yang merasa kesulitan jika tetap berpuasa, Apakah ia tetap berpuasa (mengamalkan azimah) atau memilih berbuka (mengambil rukhshah)?
Madzhab Hanafi menyatakan bahwa dalam masalah ini, melaksanakan azimah itu lebih utama. Sedangkan di dalam madzhab Syafi'i, ada dua pendapat. Pendapat pertama (yang kuat) menyatakan bahwa mengamalkan rukhshah lebih utama. Sedang pendapat kedua menyatakan bahwa mengamalkan azimah yang lebih utama. Ini masalah khilafiyah, dan dibutuhkan kedewasaan untuk saling menghargai.
Namun, saya sangat tertarik dengan perkataan beliau-mengutip pendapat imam Sarakhsi-:

قيل: العمل بالعزيمة أفضل، إلا إذا خاف الهلاك على نفسه فإنه يلزمه الفطر، لأنه لو صبر وصام حتى هلك صار قاتلا لنفسه فيموت آثما
Artinya:
Dikatakan: bahwa mengamalkan azimah itu yang utama, kecuali jika takut akan binasa (mati). Maka jika demikian, maka ia harus berbuka puasa karena jika ia memilih bersabar dan tetap berpuasa hingga kemudian ia mati, maka ia telah membunuh dirinya sendiri, dan ia mati dalam keadaan berdosa.

Dari sini dapat dipahami beberapa hal. Pertama, pendapat di dalam madzhab syafi'i yang menyatakan bahwa melaksanakan azimah itu lebih utama, hanya dibatasi pada keadaan di mana pelakunya dipastikan keamanan jiwanya. Namun jika ditakutkan ia binasa (apalagi jika dokter sudah mengatakan bahwa jika ia berpuasa, maka 99% akan meninggal), maka memilih rukhshah adalah yang utama.
Kedua, ternyata tak selamanya ibadah itu berimplikasi pada pahala. Justru sebaliknya, bisa saja pelakunya mendapatkan dosa. Makanya, imam Sarakhsi menyatakan bahwa orang yang tetap ngeyel dan ngotot beribadah puasa padahal kondisi fisiknya tidak memungkinkan, sehingga ia mati karenanya, maka sama saja ia telah bunuh diri dan ia mati dalam keadaan berdosa (catat: mati dalam keadaan berdosa, bukan berpahala). Anda bisa bayangkan bagaimana jika ibadah itu ternyata tidak hanya membahayakan anda sendiri, tetapi juga membahayakan orang lain. Betapa banyak dosa yang anda harus tanggung.
Lantas, bagaimana dengan kasus orang yang tetap ngeyel beribadah secara berjama'ah dalam masa wabah Corona ini?
Anda sudah mengetahui bagaimana anjuran dokter tentang masalah perkumpulan di masa wabah Corona
Anda sudah mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh Corona bagi anda dan orang -orang terdekat anda
Anda sudah mengetahui bagaimana himbauan MUI, NU, atau Muhammadiyah dalam masalah beribadah selama wabah Corona
Silahkan anda analogikan apa yang saya paparkan dengan masalah ini

فليقس ما لم يقل

Gorontalo, 10 April 2020
(Repost dari status di Facebook)


Sunday, April 5, 2020

Menjadi Pribadi yang Bermanfaat


Manusia tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain, sekaya apapun orang tersebut. Setiap orang pasti membutuhkan bantuan orang lain. Dan setiap orang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Di sinilah pentingnya kita memberi manfaat kepada orang lain. Setiap orang dapat memberi manfaat sesuai dengan kemampuan dan keahlian yang ia miliki. Seorang guru dapat memberi manfaat dengan ilmu yang ia miliki. Seorang petani dapat memberi manfaat dengan hasil panen yang ia dapatkan.
Besar ataupun kecilnya manfaat yang kita berikan, bukanlah menjadi hal yang utama. Yang paling utama adalah niat ikhlas untuk memberi manfaat kepada orang. Keikhlasan ini yang akan menjadikan amalan yang terlihat kecil dan remeh di mata manusia, menjadi bernilai tinggi di hadapan Allah swt. Sebagai contoh, sering kali orang meremehkan peranan guru ngaji di kampung-kampung. Ya, orang-orang yang ikhlas untuk mengajarkan kepada anak-anak kita bagaimana cara membaca al-Quran, tanpa meminta imbalan sepeserpun. Bukannya mereka tak butuh akan uang, tetapi mereka segan untuk meminta hal itu, meski sebenarnya mereka berhak untuk mendapatkannya. Mungkin, jika bisa digambarkan, mereka ini seperti para sahabat nabi saw., yang digambarkan di dalam al-Qur’an dengan:
...يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمَاهُمْ لَا يَسْأَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا...(البقرة: 273)
“...orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak...”.
Banyak orang yang meremehkan peranan mereka di masyarakat, padahal mereka memiliki peranan dan posisi penting dalam keilmuan Islam. Untuk mendalami ilmu keagamaan-langsung dari sumbernya-, seseorang harus menguasai bahasa Arab. Dan untuk menguasai bahasa Arab-beserta perangkat gramatika bahasa dan sasteranya-seseorang harus menguasai terlebih dahulu tulisan Arab. Dan penguasaan itu bisa diperoleh melalui-salah satunya-dengan belajar membaca al-Qur’an, karena dengan bahasa Arablah al-Qur’an diturunkan.
***
Rasulullah saw., bersabda:
خَصْلَتَانِ لَا شَيْءَ أَفْضَلُ مِنْهُمَا: اَلْإِيْمَانُ بِاللهِ وَالنَّفْعُ بِالْمُسْلِمِيْنَ. وَخَصْلَتَانِ لَا شَيْءَ أَخْبَثُ مِنْهُمَا: اَلشِّرْكُ بِاللهِ وَالضُرُّ بِالْمُسْلِمِيْنَ.
“dua perkara yang tidak ada sesuatupun lebih baik dari keduanya, (yaitu) beriman kepada Allah swt., dan memberi manfaat kepada kaum muslim. Dan dua perkara yang tidak ada sesuatupun yang lebih kotor dari keduanya, (yaitu) menyekutukan Alla swt., dan membahayakan kaum muslim”.
Syaikh Nawawi al-Bantani di dalam kitab Nashaihul ‘Ibad menjelaskan bahwa memberi manfaat kepada kaum muslim dapat dilakukan dengan perkataan, jabatan, harta, atau anggota badan.[i] Segala hal yang memiliki potensi untuk mendatangkan manfaat bagi diri dan orang banyak, harus dijadikan peluang untuk berbuat kebajikan. Yang menarik dari hadis di atas adalah bagaimana Rasulullah saw., menyandingkan kalimat “memberi manfaat kepada kaum muslim” dengan “beriman kepada Allah swt.”. Ini menunjukkan bagaimana tingginya posisi “memberi manfaat” di dalam ajaran Islam. Syaikh Nawawi-di dalam kitab yang sama-menjelaskan bahwa hal itu karena semua perintah Allah berpusat pada dua hal, yaitu mengagungkan dzat-Nya dan bersikap welas asih kepada makhluk ciptaan-Nya. Oleh karenanya, perintah sholat disandingkan dengan perintah untuk berzakat, atau perintah bersyukur kepada-Nya yang disandingkan dengan perintah untuk berbakti kepada kedua orang tua.[ii]
***
Saat ini, masyarakat Indonesia sedang menghadapi pandemi Covid-19, yang entah hingga kapan pandemi ini akan berakhir. Di bulan-bulan ini, masyarakat-terutama ekonomi lemah-akan menghadapi masa-masa sulit. Perekonomian bisa saja akan ambruk. Inilah saat yang tepat bagi kita untuk memberi manfaat bagi orang lain. Pemerintah dan pejabat dengan melakukan kebijakan-kebijakan yang tepat dan pro rakyat, ulama dengan memberikan nasehat-nasehat untuk terus bersabar dan mendekatkan diri kepada Allah, orang-orang kaya dengan menyisihkan sedikit dari hartanya dan membantu orang yang membutuhkan, dan orang-orang lemah dan terzhalimi dengan mendoakan para pemimpin dan dermawan dengan doa-doa kebaikan. Karena tiada penghalang antara Allah dengan doa-doa mereka.

Gorontalo, 05 April 2020


[i]lihat Nashaihul Ibad., h. 3-4.