Monday, April 13, 2020

Antara Rukhsah dan Azimah

(Membaca kembali diktat kuliah Ushul Fikih, karya Prof. Dr. Abdul Hayy Abdul 'Aal, guru besar Ushul Fikih Univ. Al-Azhar)
Sengaja saya mencari kembali materi tentang rukhshah dan azimah karena dahulu materi ini sangat berkesan di hati saya, apalagi dalam keadaan sekarang ini memerlukan perhatian lebih tentang manakah yang lebih utama, mengambil rukhshah atau bersikukuh dengan mengamalkan azimah dalam masa pandemi Corona ini.
Pada halaman 147, dibahas tentang masalah manakah yang lebih baik bagi seseorang yang sakit atau dalam perjalanan di siang hari Ramadhan, yang merasa kesulitan jika tetap berpuasa, Apakah ia tetap berpuasa (mengamalkan azimah) atau memilih berbuka (mengambil rukhshah)?
Madzhab Hanafi menyatakan bahwa dalam masalah ini, melaksanakan azimah itu lebih utama. Sedangkan di dalam madzhab Syafi'i, ada dua pendapat. Pendapat pertama (yang kuat) menyatakan bahwa mengamalkan rukhshah lebih utama. Sedang pendapat kedua menyatakan bahwa mengamalkan azimah yang lebih utama. Ini masalah khilafiyah, dan dibutuhkan kedewasaan untuk saling menghargai.
Namun, saya sangat tertarik dengan perkataan beliau-mengutip pendapat imam Sarakhsi-:

قيل: العمل بالعزيمة أفضل، إلا إذا خاف الهلاك على نفسه فإنه يلزمه الفطر، لأنه لو صبر وصام حتى هلك صار قاتلا لنفسه فيموت آثما
Artinya:
Dikatakan: bahwa mengamalkan azimah itu yang utama, kecuali jika takut akan binasa (mati). Maka jika demikian, maka ia harus berbuka puasa karena jika ia memilih bersabar dan tetap berpuasa hingga kemudian ia mati, maka ia telah membunuh dirinya sendiri, dan ia mati dalam keadaan berdosa.

Dari sini dapat dipahami beberapa hal. Pertama, pendapat di dalam madzhab syafi'i yang menyatakan bahwa melaksanakan azimah itu lebih utama, hanya dibatasi pada keadaan di mana pelakunya dipastikan keamanan jiwanya. Namun jika ditakutkan ia binasa (apalagi jika dokter sudah mengatakan bahwa jika ia berpuasa, maka 99% akan meninggal), maka memilih rukhshah adalah yang utama.
Kedua, ternyata tak selamanya ibadah itu berimplikasi pada pahala. Justru sebaliknya, bisa saja pelakunya mendapatkan dosa. Makanya, imam Sarakhsi menyatakan bahwa orang yang tetap ngeyel dan ngotot beribadah puasa padahal kondisi fisiknya tidak memungkinkan, sehingga ia mati karenanya, maka sama saja ia telah bunuh diri dan ia mati dalam keadaan berdosa (catat: mati dalam keadaan berdosa, bukan berpahala). Anda bisa bayangkan bagaimana jika ibadah itu ternyata tidak hanya membahayakan anda sendiri, tetapi juga membahayakan orang lain. Betapa banyak dosa yang anda harus tanggung.
Lantas, bagaimana dengan kasus orang yang tetap ngeyel beribadah secara berjama'ah dalam masa wabah Corona ini?
Anda sudah mengetahui bagaimana anjuran dokter tentang masalah perkumpulan di masa wabah Corona
Anda sudah mengetahui bahaya yang ditimbulkan oleh Corona bagi anda dan orang -orang terdekat anda
Anda sudah mengetahui bagaimana himbauan MUI, NU, atau Muhammadiyah dalam masalah beribadah selama wabah Corona
Silahkan anda analogikan apa yang saya paparkan dengan masalah ini

فليقس ما لم يقل

Gorontalo, 10 April 2020
(Repost dari status di Facebook)


0 comments:

Post a Comment