Secara bahasa thaharah berarti suci
dan bersih dari kotoran baik itu kotoran yang dapat diindera seperti najis,
atau kotoran yang maknawi seperti aib. Sedangkan secara istilah para ulama’
syafi’i mengartikannya dengan :
إِزَالَةُ
حَدَثٍ، أَوْ نَجَـسٍ ، أَوْ مَا فِي مَعْنَـاهِمَا وَ عَلَى صُوْرَتِهـِمَا
ـartinya : menghilangkan hadats dan najis atau yang semakna dengan
keduanya dan sejenis dengan keduanya.
Sementara itu, pengarang kitab al-fiqh al-manhaji ‘ala madzhabi
al-Imam asy-Syafi’i mendefinisikan thaharah sebagai pekerjaan yang dapat
memperbolehkan pelakunya untuk melaksanakan shalat – atau yang sehukum dengan
shalat- seperti wudhu bagi orang yang belum wudhu’, atau mandi bagi orang yang
wajib mandi dan menghilangkan najis dari pakaian, tubuh dan tempat.
Adapun air yang bisa digunakan untuk
bersuci itu ada tujuh yaitu : air hujan, air laut, air sungai, air sumur, mata
air, air es, dan air dingin. Atau kita bisa mengatakan ketujuh air tersebut
dengan semua air yang turun dari langit dan memancar dari bumi.
Kemudian air juga bisa dibagi
menjadi 4 bagian, yaitu :
Pertama ; air suci dan mensucikan atau air mutlaq, yaitu air yang tetap
pada wujud aslinya sebagaimana Allah menciptakan air tersebut. Namun bila air
tersebut berubah karena terlalu lama diam di suatu tempat, atau karena ada
debu, atau berlumut atau karena tempat
dan jalan air tersebut membuat air berubah maka ia tetap disebut dengan air
mutlaq dan dapat digunakan untuk bersuci. Hal itu karena kita tidak dapat
mencegah air tersebut untuk berubah.
Kedua : air suci mensucikan tetapi makruh untuk digunakan bersuci. Air tersebut
adalah air musyammas atau yang dipanasi oleh sinar matahari. Disyaratkan
makruhnya air tersebut oleh beberapa hal :
-
ia
di negara yang beriklim panas
- air
tersebut terletak di wadah yang terbuat dari selain emas dan perak, seperti
besi dan tembaga.
- Penggunaan
air tersebut pada tubuh manusia – meskipun telah mati – atau hewan yang bisa
terkena kusta.
Imam syafi’i rahimahullah menukilkan
dari Umar bin Khattab bahwasanya beliau tidak suka menggunakan air tersebut
untuk mandi. Beliau berkata : aku tidak membenci menggunakan air musyammas melainkan
karena alasan kesehatan.
Ketiga : air suci tetapi tidak bisa mensucikan (musta’mal). Ia terbagi
menjadi 2 bagian :
· Air sedikit yang sudah digunakan untuk melaksanakan kewajiban
bersuci seperti wudhu’ dan mandi.
· Air mutlaq yang sudah bercampur dengan sesuatu yang suci lainnya
yang secara kebiasaan air tidak membutuhkannya dan tidak memungkinkan untuk
dipisahkan lagi setelah keduanya bercampur sehingga bentuk asli tersebut
berubah dan tidak bisa dikatakan sebagai air. Contohnya teh, kopi, jus dan lain
– lain.
Keempat : air mutanajjis yaitu air yang terkena sesuatu yang najis.
Dan ia ada dua bagian :
Pertama : air sedikit (kurang dari 2 qullah). Air ini najis cukup hanya dengan
terkena najis meskipun hanya sedikit dan tidak merubah sifat – sifat air
seperti warna, rasa dan bau air tersebut. 2 Qullah setara dengan 500
liter baghdad.
Dari Abdullah bin Umar bin Khattab r.a.
berkata : aku mendengar Rasulullah SAW ditanya tentang air di padang pasir,
yang sering didatangi hewan buas dan hewan melata, beliau menjawab : apabila air
2 Qullah, maka ia tidak najis”
Kedua : air yang mencapai 2 Qullah atau lebih. Air ini tidak najis bila
terkena sesuatu yang najis, selama ia tidak berubah warna, rasa, dan bau air
tersebut. Apabila ia berubah, maka air tersebut berubah menjadi najis. Adapun dalilnya
adalah ijma’ ulama atas hal ini. Imam an-Nawawi
dalam kitab al-Majmu’ berkata : Ibn Mundzir berkata : para ulama
bersepakat bahwa air sedikit atau pun air banyak bila terkena najis kemudian
berubah warna, bau dan rasanya maka air tersebut najis.
Referensi :
1) Muhtashar Abi Suja'
2) Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab al-Imam asy-Syafi'i
0 comments:
Post a Comment