Friday, April 12, 2013

Derita Persibo, Ironi sebuah Revolusi

Pada pertandingan AFC Cup Matchday 4, Persibo Bojonegoro mengalami hal yang memalukan, bukan hanya bagi sejarah klub akan tetapi juga Indonesia pada persepakbolaan dunia. Pada pertandingan itu, Persibo harus menelan kekalahan 8-0 dari tuan rumah Sun Hei SC. Bukan hanya itu, pertandingan harus dihentikan pada menit 65 karena jumlah pemain Persibo tinggal 6 orang dan tak ada pemain lainnya yang dapat dimasukkan ke dalam lapangan. Itu karena Persibo hanya membawa 12 orang pemain dalam lawatannya ke Hong Kong tersebut. Tak ayal, sanksi AFC pun sudah menunggu Persibo Bojonegoro.
Derita Persibo ini menjadi ironi bagi kompetisi yang mengusung semangat “Revolusi” sepakbola Indonesia. Sejak bergulir pada musim 2011, Liga Primer Indonesia (LPI) gagal membuktikan bahwa mereka bisa lebih baik dari Liga Super Indonesia. Jadwal Kompetisi yang amburadul menjadi salah satu contoh kegagalan Liga Primer Indonesia. Bukan hanya itu, Klub – Klub yang berpartisipasi pun kehilangan akal untuk mencari sumber dana untuk mengarungi kompetisi. Mereka  menyatakan diri sebagai klub tanpa APBD, akan tetapi pada kenyataannya mereka gagal mendapatkan suntikan dana dari sponsor – sponsor. Mereka hanya menyandarkan dana klub kepada satu konsorsium. Padahal semestinya tidak boleh satu konsorsium mendanai lebih dari satu klub dalam kompetisi yang sama. Namun itu terjadi di LPI.

Hal ini semakin diperparah dengan minimnya minat masyarakat untuk menyaksikan kompetisi ini baik melalui siaran televisi maupun datang langsung ke stadion. Akibatnya, televisi – televisi yang sebelumnya siap menyiarkan LPI mulai menarik diri karena menilai tak ada keuntungan bisnis dengan menyiarkan kompetisi revolusioner ini. Akibat dari itu semua, klub – klub tersebut mengalami kesulitan dana, jangankan untuk membayar gaji pemain, untuk operasional kompetisi saja mereka hanya berharap pada santunan dana konsorsium. Terhitung hanya Semen Padang – yang masuk kompetisi ini pada tahun 2012 – saja yang memiliki keuangan yang stabil. Sebuah ironi bagi klub – klub yang katanya profesional.
Keadaan terbalik justru dialami Liga Super Indonesia. Meskipun di antara mereka ada juga yang mengalami penunggakan pembayaran gaji pemain, namun mereka memiliki dana yang cukup untuk mengarungi kompetisi ISL. Terlebih antusiasme masyarakat sangat tinggi terhadap ISL. Stadion selalu sesak dengan penonton yang menyaksikan klub kebanggaan mereka bertanding. Rating siaran pun selalu tinggi, terutama laga – laga yang mempertemukan klub – klub besar ISL. Maka, masa depan Liga Primer Indonesia pun di ambang kehancuran. Dan hasil KLB 17 Maret di Hotel Borobudur menegaskan kehancuran mereka.
Persibo Bojonegoro, yang mengikuti Liga Primer Indonesia sejak 2011 pun mengalami apa yang dialami oleh klub – klub IPL lainnya. Meskipun mereka menjadi juara Piala Indonesia tahun 2012, akan tetapi mereka tak memiliki dana yang cukup untuk mengarungi kompetisi AFC Cup. Namun PSSI – sebelum KLB – tetap memaksa mereka untuk mengikuti AFC Cup. Akibatnya, terjadilah hal – hal yang memalukan seperti ini. Pembantaian dari klub – klub yang tak pernah dikenal sebelumnya oleh masyarakat Indonesia benar – benar mencoreng harga diri bangsa dan negara. Bahkan untuk menghadiri laga lawatan ke Hong Kong, Persibo harus berangkat 1 hari sebelum hari H karena tidak memiliki dana transportasi pemain ke Hong Kong. Dan mereka pun hanya mampu membawa 12 orang pemain karena tidak memiliki dana lebih untuk membawa lebih banyak pemain. Kalo sudah begini, siapakah yang harus kita persalahkan?

Gorontalo, 12 April 2013

0 comments:

Post a Comment