Bulan Ramadhan kemarin saya diberi kesempatan oleh Allah
untuk membawa anak – anak didik saya untuk melaksanakan safari Ramadhan.
Kebetulan rumah tempat kami menginap berdekatan dengan Mesjid. Saya pun lantas
berkenalan dengan Imam Mesjid tersebut, sebutlah namanya Pak Rahmat.
Beliau sudah agak uzur. Bila saya telisik, umur beliau
sekitar 45 atau 50-an tahun. Namun bukan itu yang menarik perhatian saya. Saya
tersentuh dengan kenyataan yang ada di Mesjid itu. Satu – satunya orang yang
menguasai ilmu agama di sekitar situ hanyalah Imam Mesjid tersebut.
Jadilah beliau orang mengumandangkan adzan, menyerukan
Iqamat, bahkan menjadi Imam shalat. Sesekali ia dibantu oleh seorang anak
didiknya untuk mengumandangkan adzan. Selain itu, tak ada orang lain yang mau
atau pun bisa mengimami shalat lima waktu.
Bila Jum’at tiba, keadaan tambah runyam. Karena beliaulah
yang melaksanakan semuanya mulai dari adzan, bilal, khatib sampai imam shalat
jum’at. Sangat menyedihkan.
Beliau pernah bercerita kepada saya akan kekhawatirannya
kelak ketika ia dipanggil menghadap kepada Sang Khalik. Siapakah yang akan
menggantikannya memakmurkan masjid tersebut. Orang – orang di sekitar mesjid
lebih senang menyekolahkan anak – anaknya di sekolah umum, meskipun di sana
banyak madrasah – madrasah yang siap mendidik generasi islam.
Begitu pula, masyarakat lebih disibukkan dengan mencari
rezeki dibandingkan bagaimana caranya bisa memakmurkan mesjid atau mendidik
anak – anaknya dengan ilmu agama. Itulah kekhawatiran beliau.
Kekhawatiran Pak Rahmat serta masalah yang dihadapi mesjid
beliau bukan hanya terjadi di daerah itu. Beberapa daerah pun mengalami hal
yang demikian. Kurangnya seorang da’i serta tak adanya generasi penerus islam
yang handal menjadi permasalahan umat islam saat ini.
Kebanyakan orang tua lebih senang menyekolahkan anak –
anaknya di sekolah umum, yang pendidikan agamanya sangat minim. Mereka enggan
untuk menyekolahkan anak – anak mereka di pesantren karena alasan mutu,
keterbelakangan, atau bahkan isu terorisme. Kalau pun ada yang menyekolahkan
mereka di pesantren, di antaranya karena sudah tak mampu anak mereka karena
kenakalan anak mereka atau karena kesibukan masing – masing orang tua sehingga
tak bisa mengawasi anak – anaknya, bukan karena tujuan benar – benar ingin anaknya
mendalami ilmu agama. Walau pun ada juga orang tua yang benar – benar ingin
anak – anaknya mendalami ilmu agama.
Jadilah pesantren bagaikan bengkel atau pun tempat penitipan
anak. Sungguh menyedihkan. Padahal tujuan utama pesantren adalah untuk mendidik
seseorang menjadi seorang yang Faqih, ‘Alim, dan Rabbani. Namun
itulah kenyataan yang terjadi. Sehingga terjadilah apa yang menimpa Pak Rahmat
serta daerah – daerah lainnya yang kekurangan seorang Da’i dan Alim Ulama’.
Begitu pula, kebanyakan orang sudah berpuas diri setelah
menyekolahkan anaknya selama 3 atau 6 tahun di Pesantren. Mereka beranggapan
bahwa itu sudah cukup untuk menjadi bekal anak – anaknya. Padahal ilmu agama
itu begitu luas, tak cukup untuk dipelajari 6 tahun atau bahkan 10 tahun sekali
pun. Apalagi hanya 3 tahun. Yang terjadi selanjutnya adalah semakin
berkurangnya orang – orang yang benar – benar memahami ilmu agama.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk
mendidik generasi islam yang tangguh. Menjadi kewajiban bagi orang tua (yang
kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT) untuk membekali
anak – anaknya dengan ilmu agama.
Sesungguhnya Allah SWT tidak mencabut Ilmu Pengetahuan dengan
cara mencabut Ilmu tersebut dari dunia sekaligus. Namun Allah SWT mencabut ilmu
dengan cara memanggil sang Ulama kembali kehadirat-Nya. Dan jika seorang ulama
meninggal, siapakah yang menggantikannya selain diri kita umat Islam.
Pertanyaannya:
Sudah siapkah kita menjadi Pewaris Para Nabi?
Gorontalo, 2 Oktober 2012
0 comments:
Post a Comment