Tuesday, October 2, 2012

Siapa Penerus Umat Ini ?



Bulan Ramadhan kemarin saya diberi kesempatan oleh Allah untuk membawa anak – anak didik saya untuk melaksanakan safari Ramadhan. Kebetulan rumah tempat kami menginap berdekatan dengan Mesjid. Saya pun lantas berkenalan dengan Imam Mesjid tersebut, sebutlah namanya Pak Rahmat.
Beliau sudah agak uzur. Bila saya telisik, umur beliau sekitar 45 atau 50-an tahun. Namun bukan itu yang menarik perhatian saya. Saya tersentuh dengan kenyataan yang ada di Mesjid itu. Satu – satunya orang yang menguasai ilmu agama di sekitar situ hanyalah Imam Mesjid tersebut.

Jadilah beliau orang mengumandangkan adzan, menyerukan Iqamat, bahkan menjadi Imam shalat. Sesekali ia dibantu oleh seorang anak didiknya untuk mengumandangkan adzan. Selain itu, tak ada orang lain yang mau atau pun bisa mengimami shalat lima waktu.

Bila Jum’at tiba, keadaan tambah runyam. Karena beliaulah yang melaksanakan semuanya mulai dari adzan, bilal, khatib sampai imam shalat jum’at. Sangat menyedihkan.
Beliau pernah bercerita kepada saya akan kekhawatirannya kelak ketika ia dipanggil menghadap kepada Sang Khalik. Siapakah yang akan menggantikannya memakmurkan masjid tersebut. Orang – orang di sekitar mesjid lebih senang menyekolahkan anak – anaknya di sekolah umum, meskipun di sana banyak madrasah – madrasah yang siap mendidik generasi islam.

Begitu pula, masyarakat lebih disibukkan dengan mencari rezeki dibandingkan bagaimana caranya bisa memakmurkan mesjid atau mendidik anak – anaknya dengan ilmu agama. Itulah kekhawatiran beliau.

Kekhawatiran Pak Rahmat serta masalah yang dihadapi mesjid beliau bukan hanya terjadi di daerah itu. Beberapa daerah pun mengalami hal yang demikian. Kurangnya seorang da’i serta tak adanya generasi penerus islam yang handal menjadi permasalahan umat islam saat ini.
Kebanyakan orang tua lebih senang menyekolahkan anak – anaknya di sekolah umum, yang pendidikan agamanya sangat minim. Mereka enggan untuk menyekolahkan anak – anak mereka di pesantren karena alasan mutu, keterbelakangan, atau bahkan isu terorisme. Kalau pun ada yang menyekolahkan mereka di pesantren, di antaranya karena sudah tak mampu anak mereka karena kenakalan anak mereka atau karena kesibukan masing – masing orang tua sehingga tak bisa mengawasi anak – anaknya, bukan karena tujuan benar – benar ingin anaknya mendalami ilmu agama. Walau pun ada juga orang tua yang benar – benar ingin anak – anaknya mendalami ilmu agama.

Jadilah pesantren bagaikan bengkel atau pun tempat penitipan anak. Sungguh menyedihkan. Padahal tujuan utama pesantren adalah untuk mendidik seseorang menjadi seorang yang Faqih, ‘Alim, dan Rabbani. Namun itulah kenyataan yang terjadi. Sehingga terjadilah apa yang menimpa Pak Rahmat serta daerah – daerah lainnya yang kekurangan seorang Da’i dan Alim Ulama’.
Begitu pula, kebanyakan orang sudah berpuas diri setelah menyekolahkan anaknya selama 3 atau 6 tahun di Pesantren. Mereka beranggapan bahwa itu sudah cukup untuk menjadi bekal anak – anaknya. Padahal ilmu agama itu begitu luas, tak cukup untuk dipelajari 6 tahun atau bahkan 10 tahun sekali pun. Apalagi hanya 3 tahun. Yang terjadi selanjutnya adalah semakin berkurangnya orang – orang yang benar – benar memahami ilmu agama.

Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bersama untuk mendidik generasi islam yang tangguh. Menjadi kewajiban bagi orang tua (yang kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah SWT) untuk membekali anak – anaknya dengan ilmu agama.
Sesungguhnya Allah SWT tidak mencabut Ilmu Pengetahuan dengan cara mencabut Ilmu tersebut dari dunia sekaligus. Namun Allah SWT mencabut ilmu dengan cara memanggil sang Ulama kembali kehadirat-Nya. Dan jika seorang ulama meninggal, siapakah yang menggantikannya selain diri kita umat Islam.

Pertanyaannya:
Sudah siapkah kita menjadi Pewaris Para Nabi?

Gorontalo, 2 Oktober 2012

0 comments:

Post a Comment