Kemarin (selasa, 6 November 2012) saya diberi kesempatan untuk mengikuti
pelatihan bimbingan organisasi santri yang diselenggarakan Kementerian Agama
Kantor Wilayah Gorontalo. Dalam materi yang disampaikan, pemateri memberikan
contoh sebuah pesantren yang memiliki organisasi santri yang begitu banyak.
Beliau juga memotivasi santri – santri di pesantren untuk membentuk organisasi
– organisasi kesantrian sebagaimana yang dimiliki oleh pesantren tersebut.
Namun pada sesi tanya jawab, ada sebuah pernyataan salah seorang santri
yang membuat saya agak tergelitik. Dalam pandangannya tersebut, ia membawakan
sebuah hadits yang berbunyi :
أُنْظُروا إلى من هو أسـفل منكم ولا تنظروا إلى
من هو فوقكم
Artinya : lihatlah kepada orang yang di
bawah kalian, dan janganlah kalian melihat orang yang di atas kalian
Ia bermaksud bahwa kenapa kita harus melihat
pesantren yang lebih di atas dibandingkan pesantren kita. bukankah hadits
melarang kita untuk melihat orang di atas kita.
Saya memahami pernyataan santri tersebut. saya
juga tak bisa menyalahkan santri tersebut. hal ini dikarenakan keterbatasan
referensi santri yang bersangkutan sehingga ia mengatakan hal demikian.
Namun untuk melihat sebuah teks - baik
al-Qur’an maupun al-Hadits - dibutuhkan sebuah pemahaman kontekstual.
Dibutuhkan pemahaman menyeluruh sehingga kita tidak salah dalam menafsirkan
sebuah ayat maupun matan hadits. Memahami sebuah teks, harus dibarengi dengan
memahami teks – teks lainnya yang terkait dengan teks tersebut.
***
Dalam sejarah islam, terdapat 3 golongan yang
memiliki cara – cara untuk memahami suatu teks al-Qur’an maupun al-Hadits.
Golongan pertama adalah kelompok Dzahiriyah atau tekstualisme. Mereka
memahami al-Qur’an dan Hadits sesuai apa yang nampak secara tersurat di dalam
teks tersebut. Misalnya ada sebuah ayat yang menyatakan bahwa Allah memiliki
tangan, Maka mereka akan memahaminya bahwa Allah memiliki tangan sebagaimana
tangan manusia.
Adapun golongan kedua adalah kelompok ‘aqlaniyah
atau rasionalisme. Mereka memahami teks – teks al-Qur’an dan hadits hanya
berdasarkan akal saja. Mereka mendahulukan akal dibandingkan teks – teks
lainnya berupa ayat al-Qur’an maupun hadits. Akibatnya – seperti golongan
pertama – mereka salah dalam memahami maksud suatu ayat dan hadits.
Adapun golongan terakhir adalah golongan yang memahami
suatu hadits berdasarkan konteks atau pun makna yang tersirat dalam teks
tersebut. mereka mengaitkan teks tersebut dengan teks – teks lainnya yang
memiliki keterkaitan sehingga mereka bisa memahami dan mengambil kesimpulan
secara menyeluruh dan sesuai dengan tujuan yang dimaksud.
***
Berkenaan dengan hadits di atas, kita harus
memaknainya secara mendalam. Pada dasarnya hadits di atas melarang kita untuk
melihat orang yang di atas kita dalam kekayaan. Hal itu dimaksudkan agar kita
tidak merasa iri terhadap mereka sehingga kita bisa lebih bersyukur dengan apa
yang Allah telah berikan kepada kita. hadits di atas juga mewanti – wanti kita
untuk tidak terfokus pada harta saja, sehingga kita terlena untuk mengejar
dunia dan lupa dengan kehidupan akherat.
Namun bukan berarti kita tidak boleh memandang
sama sekali kepada orang yang kaya. Bila memandang orang yang kaya bisa
memotivasi kita untuk berusaha dengan lebih giat, maka hal tersebut sah – sah
saja. Bukankah Allah lebih menyukai orang yang kaya dari pada orang yang miskin
jika orang yang kaya tersebut memanfaatkan hartanya di jalan Allah?. Bukankah
Allah SWT melarang kita untuk meninggalkan keluarga dan keturunannya dalam
keadaan lemah ekonomi dan agama?. Namun bila rasa iri mulai merayapi hati kita,
dan keirian kita tersebut bisa berakibat kepada kekufuran terhadap nikmat
Allah, maka sudah saatnya kita memandang kepada orang yang berada di bawah
kita. dengan begitu maka kita bisa mensyukuri nikmat Allah kepada kita.
Allah SWT membolehkan kita untuk iri kepada dua
golongan, yaitu ahli Ibadah dan Ulama’. Dengan keirian tersebut, diharapkan
agar kita terlecut semangatnya untuk bisa menyamai mereka dalam hal ibadah
maupun keilmuan. Sehingga kita bisa menjadi intelek yang Rabbani.
***
Kesalahan dalam memahami hadits di atas, bisa
sangat berakibat fatal bagi generasi islam. Kesalahan tersebut bisa membuat
generasi islam menjadi generasi yang pasrah terhadap keadaan. Kita akan
kehilangan semangat juang dan semangat berkompetisi. Akibatnya, kita akan
menjadi umat yang terkebelakang. Baik secara ekonomi, keilmuan, maupun bidang –
bidang lainnya.
Padahal islam menyerukan kepada kita untuk
berlomba – lomba dalam kebaikan. Kita juga dilabeli dengan umat terbaik. Dan
gelar tersebut tidak mudah didapatkan. Kita harus berjuang dan berusaha untuk
mempertahankan gelar tersebut.
Gorontalo, 7 November 2012
2 comments:
Wah ulasan yg bgs ustdz. Tulisan hadistnya ada yg krg ga yah ustd di kata ولا تنظروا brg kali ada yg copas ntr malah brabe jadinya
salam
syukran sudah menyambangi blog saya ust
syukran juga atas koreksiannya
sudah diperbaiki alhamdulillah
:)
Post a Comment