Thursday, November 8, 2012

Melihat Ke Atas atau Ke Bawah ?


Kemarin (selasa, 6 November 2012) saya diberi kesempatan untuk mengikuti pelatihan bimbingan organisasi santri yang diselenggarakan Kementerian Agama Kantor Wilayah Gorontalo. Dalam materi yang disampaikan, pemateri memberikan contoh sebuah pesantren yang memiliki organisasi santri yang begitu banyak. Beliau juga memotivasi santri – santri di pesantren untuk membentuk organisasi – organisasi kesantrian sebagaimana yang dimiliki oleh pesantren tersebut.
Namun pada sesi tanya jawab, ada sebuah pernyataan salah seorang santri yang membuat saya agak tergelitik. Dalam pandangannya tersebut, ia membawakan sebuah hadits yang berbunyi :
أُنْظُروا إلى من هو أسـفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم
Artinya : lihatlah kepada orang yang di bawah kalian, dan janganlah kalian melihat orang yang di atas kalian
Ia bermaksud bahwa kenapa kita harus melihat pesantren yang lebih di atas dibandingkan pesantren kita. bukankah hadits melarang kita untuk melihat orang di atas kita.
Saya memahami pernyataan santri tersebut. saya juga tak bisa menyalahkan santri tersebut. hal ini dikarenakan keterbatasan referensi santri yang bersangkutan sehingga ia mengatakan hal demikian.
Namun untuk melihat sebuah teks - baik al-Qur’an maupun al-Hadits - dibutuhkan sebuah pemahaman kontekstual. Dibutuhkan pemahaman menyeluruh sehingga kita tidak salah dalam menafsirkan sebuah ayat maupun matan hadits. Memahami sebuah teks, harus dibarengi dengan memahami teks – teks lainnya yang terkait dengan teks tersebut.

***
Dalam sejarah islam, terdapat 3 golongan yang memiliki cara – cara untuk memahami suatu teks al-Qur’an maupun al-Hadits. Golongan pertama adalah kelompok Dzahiriyah atau tekstualisme. Mereka memahami al-Qur’an dan Hadits sesuai apa yang nampak secara tersurat di dalam teks tersebut. Misalnya ada sebuah ayat yang menyatakan bahwa Allah memiliki tangan, Maka mereka akan memahaminya bahwa Allah memiliki tangan sebagaimana tangan manusia.
Adapun golongan kedua adalah kelompok ‘aqlaniyah atau rasionalisme. Mereka memahami teks – teks al-Qur’an dan hadits hanya berdasarkan akal saja. Mereka mendahulukan akal dibandingkan teks – teks lainnya berupa ayat al-Qur’an maupun hadits. Akibatnya – seperti golongan pertama – mereka salah dalam memahami maksud suatu ayat dan hadits.
Adapun golongan terakhir adalah golongan yang memahami suatu hadits berdasarkan konteks atau pun makna yang tersirat dalam teks tersebut. mereka mengaitkan teks tersebut dengan teks – teks lainnya yang memiliki keterkaitan sehingga mereka bisa memahami dan mengambil kesimpulan secara menyeluruh dan sesuai dengan tujuan yang dimaksud.

***

Berkenaan dengan hadits di atas, kita harus memaknainya secara mendalam. Pada dasarnya hadits di atas melarang kita untuk melihat orang yang di atas kita dalam kekayaan. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak merasa iri terhadap mereka sehingga kita bisa lebih bersyukur dengan apa yang Allah telah berikan kepada kita. hadits di atas juga mewanti – wanti kita untuk tidak terfokus pada harta saja, sehingga kita terlena untuk mengejar dunia dan lupa dengan kehidupan akherat.
Namun bukan berarti kita tidak boleh memandang sama sekali kepada orang yang kaya. Bila memandang orang yang kaya bisa memotivasi kita untuk berusaha dengan lebih giat, maka hal tersebut sah – sah saja. Bukankah Allah lebih menyukai orang yang kaya dari pada orang yang miskin jika orang yang kaya tersebut memanfaatkan hartanya di jalan Allah?. Bukankah Allah SWT melarang kita untuk meninggalkan keluarga dan keturunannya dalam keadaan lemah ekonomi dan agama?. Namun bila rasa iri mulai merayapi hati kita, dan keirian kita tersebut bisa berakibat kepada kekufuran terhadap nikmat Allah, maka sudah saatnya kita memandang kepada orang yang berada di bawah kita. dengan begitu maka kita bisa mensyukuri nikmat Allah kepada kita.
Allah SWT membolehkan kita untuk iri kepada dua golongan, yaitu ahli Ibadah dan Ulama’. Dengan keirian tersebut, diharapkan agar kita terlecut semangatnya untuk bisa menyamai mereka dalam hal ibadah maupun keilmuan. Sehingga kita bisa menjadi intelek yang Rabbani.

***

Kesalahan dalam memahami hadits di atas, bisa sangat berakibat fatal bagi generasi islam. Kesalahan tersebut bisa membuat generasi islam menjadi generasi yang pasrah terhadap keadaan. Kita akan kehilangan semangat juang dan semangat berkompetisi. Akibatnya, kita akan menjadi umat yang terkebelakang. Baik secara ekonomi, keilmuan, maupun bidang – bidang lainnya.

Padahal islam menyerukan kepada kita untuk berlomba – lomba dalam kebaikan. Kita juga dilabeli dengan umat terbaik. Dan gelar tersebut tidak mudah didapatkan. Kita harus berjuang dan berusaha untuk mempertahankan gelar tersebut.

Gorontalo, 7 November 2012

2 comments:

Wah ulasan yg bgs ustdz. Tulisan hadistnya ada yg krg ga yah ustd di kata ولا تنظروا brg kali ada yg copas ntr malah brabe jadinya

salam
syukran sudah menyambangi blog saya ust
syukran juga atas koreksiannya
sudah diperbaiki alhamdulillah
:)

Post a Comment