Sunday, December 20, 2015

(Bab Thaharah) Hal-hal yang najis



Hal-Hal yang Najis


Pengertian Najis secara bahasa
Secara bahasa najis (نجس) artinya adalah segala sesuatu yang kotor. 

pengertian najis secara istilah
menurut istilah syari’at, najis adalah kotoran yang mencegah sahnya sholat seseorang, seperti darah dan kencing.[i]


Berikut ini adalah sesuatu yang najis:
  1. Khamr dan segala cairan yang memabukkan.[ii] Termasuk di dalamnya adalah nabidz (perasan buah) yang memabukkan.[iii]
  2. anjing dan babi[iv] atau yang lahir dari keduanya.[v]
  3. bangkai, kecuali bangkai ikan, belalang, dan juga mayat manusia (menurut pendapat yang paling kuat).[vi] Kulit hewan yang sudah mati dapat disucikan dengan cara disamak, kecuali kulit anjing dan babi atau yang lahir dari keduanya. Tulang dan rambut hewan yang sudah mati juga termasuk sesuatu yang najis, kecuali tulang dan rambut manusia.[vii]
  4. Darah dan nanah, kecuali hati dan limpa.
  5. Kencing dan kotoran, baik manusia maupun hewan.
  6. Bagian tubuh hewan yang terpisah dari tubuhnya saat ia masih hidup. Kecuali rambut dan bulu hewan yang dagingnya dimakan.
  7. Susu hewan yang tidak dimakan dagingnya, seperti keledai. Karena susunya itu seperti dagingnya, sedangkan dagingnya najis.[viii]
Jenis-Jenis Najis
  • Najis ‘Ainiyah dan Hukmiyah. Najis ‘Ainiyah adalah segala najis yang bisa dilihat, atau ia memiliki sifat yang nampak seperti warna dan bau. Contohnya tahi, kencing, dan darah. Sedangkan najis hukmiyah adalah setiap najis yang mengering, atau hilang bekasnya dan tidak tersisa bekasnya baik itu warna atau pun baunya. Contohnya kencing yang mengenai pakaian kemudian ia mengering dan tidak ada bekasnya.
  • Najis Mughallazhah, yaitu najis anjing dan babi.
  • Najis Mukhaffafah, yaitu kencing anak kecil laki-laki yang belum mengkonsumsi apa-apa selain air susu ibu dan ia belum berumur 2 tahun.
  • Najis Muthawassithah, yaitu najis selain najis mughallazhah dan najis mukhaffafah.
Cara menghilangkan najis
  • Cara mensucikan/menghilangkan Najis Mughallazhah adalah dengan mencucinya 7 kali dan salah satunya menggunakan tanah. Baik najis itu najis ‘ainiyah atau pun hukmiyah  dan terkena di pakaian, badan atau pun tempat.
  • Cara mensucikan/menghilangkan  najis mukhaffafah adalah dengan memercikkan air ke kencing tersebut sehingga percikan itu menggenanginya.
  • Cara mensucikan/menghilangkan najis muthawassithah adalah dengan mengguyurkan air ke najis tersebut sehingga kotoran tersebut hilang dan hilang pula warna, bau, dan rasanya. Akan tetapi tidak mengapa tersisa warnanya apabila ia sulit dihilangkan seperti darah pada pakaian.
Hal-hal yang dimaafkan dari najis
  1. Percikan kencing yang sedikit yang tidak diketahui, jika ia mengenai pakaian atau badan.
  2. Darah atau nanah yang sedikit, darah kutu, dan najis lalat. Selama hal itu bukan karena perbuatan manusia dan kesengajaannya.
  3. Darah dan nanah pada luka, meskipun banyak. Dengan syarat bahwa darah dan nanah itu dari tubuhnya sendiri, luka tersebut bukan karena perbuatannya dan kesengajaannya, serta tidak melebihi batas kebiasaannya.
  4. Kotoran binatang melata yang mengenai biji-bijian ketika hewan tersebut melewatinya serta kotoran binatang ternak yang mengenai susu ketika diperah selama itu tidak banyak dan merubah susu.
  5. Kotoran ikan di air selama air tersebut tidak berubah, begitu juga dengan kotoran burung di tempat yang mereka sering bolak-balik ke tempat itu, contohnya di Masjidil Haram, Masjid Nabawi. Hal itu karena umumnya cobaan dan sulit untuk menghidar dari kotorannya.
  6. Darah yang mengenai pakaian tukang jagal, selama darah itu tidak banyak.
  7. Darah yang terdapat pada daging
  8. Mulut bayi yang terkena najis muntahannya ketika ia menyusu pada buah dada ibunya,
  9. Debu jalan yang mengenai orang,
  10. Bangkai hewan yang tidak memiliki darah dari dirinya sendiri ketika ia mengenai benda cair, seperti lalat, lebah dan semut. Dengan syarat bahwa ia mengenai/jatuh ke benda cair tersebut karena dirinya sendiri (bukan karena perbuatan manusia), serta benda cair yang terkena hewan tersebut tidak berubah warna, bau, dan rasanya.[ix]
Referensi:
1. Al-Fiqh Al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i. Musthafa al-Buhga, dkk.
2. Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i. Abu Hamid Al-Ghazali
3. Matan Gayah wa Taqrib. Abu Syuja'




[i]al-Bugha, Musthafa, et.all. Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i. (Damaskus, Dar al-Qalam, 1992), hal. 38.
[ii]Ibid.
[iii]Abu Hamid al-Ghazali. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i. (Beirut: Dar Al-Arqam, 1997), hal. 111.
[iv]Musthafa al-Bugha dan Musthafa al-Khin. Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i., hal. 38
[v]Abu Hamid al-Ghazali. Al-Wajiz fi Fiqh al-Imam asy-Syafi’i., hal. 111.
[vi]Ibid.
[vii]Abu Syuja’. Matan Ghayah wa Taqrib. (Mesir, Maktabah al-Jumhuriyah al-Arabiyah, t.th.), hal. 3.
[viii]Musthafa al-Bugha dan Musthafa al-Khin. Al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’i., hal. 39-40.
[ix]Ibid., hal. 43-44.

0 comments:

Post a Comment